Mengenal Lebih Dekat Sosok Kades Krikilan Masaran Sragen: Jumbadi, Lahir dari Kesederhanaan Menuju Amanah Desa

Sragen – Di sebuah kampung kecil bernama Dukuh Karangwaru, Krikilan, Masaran, Sragen, pada 17 Agustus 1963, lahirlah seorang anak lelaki dari pasangan sederhana, Sodikromo dan Sadikem. Anak itu diberi nama Jumbadi. Hidupnya dibesarkan dalam pelukan sawah tadah hujan, jauh sebelum air irigasi dari Waduk Gajah Mungkur mengaliri tanah mereka pada tahun 1985.

Pasangan buruh tani itu memiliki lima orang anak. Jumbadi adalah anak ketiga, yang kelak dipercaya untuk menempati rumah peninggalan orang tua—sebuah simbol tanggung jawab yang diwariskan. Kakaknya Sukimin, adiknya Kamis, lalu Stiyoningsih dan Suyono, adalah bagian dari kisah sederhana keluarga yang hidup dari keringat tanah.

Pendidikan dalam Keterbatasan ; Sejak kecil, Jumbadi sudah ditempa oleh kerasnya hidup. Ia menempuh pendidikan di SD Krikilan I, lulus tahun 1979. Melanjutkan ke SMPN 1 Purwosuman (sekarang Sidoarjo I), lalu ke SMA Muhammadiyah 1 Sragen hingga lulus tahun 1985. Tak berhenti di situ, ia mencoba kuliah di Akademi Peternakan selama kurang lebih dua setengah tahun.

Namun kuliah bukan perkara mudah. Demi bertahan, Jumbadi bekerja keras. Ia menjadi tukang kebun, bahkan penjaga malam (Gasman) di Perum Bulog Duyungan, Sidoarjo. Dari tahun 1988 hingga 1995, malam-malam panjang ia habiskan di bawah cahaya lampu redup, menjaga keheningan sambil menyimpan mimpi yang mungkin terasa jauh.

Dari Gasman ke PNS, Berkat kejujuran dan ketekunan, tahun 1996 menjadi titik terang. Ia menerima SK PNS di Perum Bulog. Saat itu, gaji sebagai Gasman hanya Rp250 ribu per bulan—jumlah yang kecil, tapi penuh arti bagi keluarga muda yang ia bangun bersama Hartini, perempuan sederhana yang ia kenal lewat sahabatnya, Alex Warsito. Dari pernikahan itu lahirlah dua anak: Mahfud Hardiansyah Arifin dan Ardika Elyas Pramadiya.

Wacanen Ugi:  BKK Purwodadi Memanas: Pinjaman Rp 30 Juta Mbengkak Dados Rp 335 Juta, Anak Jaksa Kacatur Melu Cekap

Pendekar, Pejuang, dan Pemimpin, Sejak muda, Jumbadi aktif di Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Ia mulai berlatih pada 1980, resmi menjadi pendekar pada 1983, dan kemudian dipercaya menjadi bendahara ranting Masaran. Tahun 2015 hingga 2020, ia memimpin sebagai Ketua Cabang PSHT Sragen, dan kini masih dipercaya sebagai anggota dewan cabang pusat Madiun.

Kiprahnya membawanya jauh dari desa. Tahun 2016, pertama kali ia menginjakkan kaki di Jakarta. Berangkat naik bus dari desa, pulangnya naik pesawat. Ia tersenyum ketika mengenang peristiwa itu: “Kalau bukan karena ketua cabang, mungkin sampai sekarang saya belum pernah lihat Jakarta,” ujarnya lirih pada wartawan, sambil melempar senyum tipis penuh kerendahan hati.

Menjadi Kepala Desa, Pada Desember 2019, Jumbadi dilantik sebagai Kepala Desa Krikilan. Dukungan tulus masyarakat menjadi alasan utama ia terpilih. Sosoknya dikenal jujur, amanah, dan transparan dalam pengelolaan dana desa. Ia tak pernah menutup diri dari rakyat, bahkan setiap kali warga membutuhkan, ia selalu ada.

Namun, di balik jabatan itu, ia tetaplah seorang petani. Setahun pertama menjabat, ia belum sempat ke sawah. Tapi sejak tahun kedua, rutinitas mencari rumput untuk pakan ternak kembali ia jalani. Di antara rapat desa, ia masih menyempatkan diri menebas rumput basah, memanggul beban di bahu, seakan tak pernah berubah dari anak desa yang dulu lahir di tengah sawah tadah hujan.

Warisan Kehidupan, Hidup Jumbadi adalah potret kesederhanaan yang penuh perjuangan. Dari anak seorang buruh tani, menjadi Gasman dengan gaji Rp250 ribu, hingga dipercaya sebagai pemimpin desa. Semua ia jalani dengan hati yang lapang, langkah yang lurus, dan senyum yang tak pernah pudar.

Wacanen Ugi:  Prof. Paiman Raharjo Nginjing Pangandikan Nggayut Tuduhan Roy Suryo Tumrap Ijazahipun Presiden Jokowi

Di matanya, kekuasaan bukanlah kemewahan. Baginya, kepala desa hanyalah amanah. Dan di balik semua itu, ia tetaplah Jumbadi yang lahir dari tanah desa, yang setiap pagi masih rela turun ke sawah mencari rumput untuk ternaknya.

Januari 2025 menjadi bulan yang penuh arti bagi sosok Jumbadi. Lelaki sederhana asal Sragen itu akhirnya berangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah umroh bersama sang istri tercinta. Perjalanan suci yang berlangsung selama dua belas hari itu bukan sekadar perjalanan ritual, melainkan juga sebuah pengalaman spiritual yang membekas di hati.

Bagi Jumbadi, momen tersebut terasa istimewa. Ia masih teringat jelas, ini adalah kali keduanya naik pesawat terbang. “Pertama dulu rasanya canggung, tapi kali ini berbeda. Ada rasa haru, bahagia, dan bergetar di dada ketika pesawat mulai meninggalkan landasan,” kisahnya sambil menahan senyum penuh kenangan.

Sesampainya di Madinah, suasana religius menyambut langkahnya. Suara adzan yang menggema, udara yang sejuk menusuk, hingga kehangatan jamaah dari berbagai penjuru dunia, membuatnya seolah berada di pelukan kasih Allah. Bersama istrinya, Jumbadi tak henti-hentinya melantunkan doa di Raudhah, tempat yang diyakini sebagai taman surga.

Hari-hari berikutnya dipenuhi ibadah tawaf di Ka’bah, sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, serta bermunajat di depan Multazam. Dalam setiap langkah, ia merasakan getaran iman yang semakin menguatkan hatinya. “Rasanya kecil sekali diri ini dibandingkan kebesaran Allah. Semua urusan dunia seolah sirna ketika berada di depan Ka’bah,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Selama 12 hari itu, Jumbadi bukan hanya menjalani ritual, tetapi juga meresapi makna perjalanan hidup. Ia merenungi perjalanan panjangnya dari kampung sederhana di Sragen hingga akhirnya bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci. Baginya, semua adalah takdir dan karunia yang harus selalu disyukuri.

Wacanen Ugi:  Waduh! Dua Orang Warga Celep Kedawung Sragen Diringkus Polres Sragen

Ketika akhirnya kembali pulang ke tanah air, kenangan tentang Madinah dan Makkah masih melekat erat di hatinya. Ia membawa pulang bukan hanya oleh-oleh kurma dan air zamzam, melainkan juga ketenangan batin, keikhlasan hati, dan semangat baru untuk terus berbuat kebaikan.

Sebuah perjalanan yang mengajarkan kita bahwa kesederhanaan, kerja keras, dan kejujuran adalah warisan paling berharga.

Penulisan: iTo
Editor: iTO
Diterbitkan oleh: PT Berita Istana Negara Media Group

Bagiaken menika:

Babagan Kita – Pawarta Jawa TV

Warta Paling Misuwur

Scroll to Top